6 Fakta Menyedihkan Pendidikan di Indonesia – Merdeka dari penindasan, kebodohan, kezaliman, penghambaan- perbudakan serta dari seluruh hal yang menjajah manusia, seperti itu mimpi Ki Hajar Dewantara. Tetapi sampai saat ini masih dapat ditemui fakta menyedihkan menimpa pendidikan di Indonesia.

Hari ini pas 126 tahun semenjak lahirnya Ki Hajar Dewantara, tokoh yang kelahirannya dijadikan peringatan Hari Pendidikan Nasional( Hardiknas). Perjuangannya menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, buatnya pernah jadi Menteri Pendidikan pada masa kemerdekaan.

Tetapi pada Hardiknas yang jatuh setiap setiap 2 Mei, masih banyak fakta menyedihkan yang masih memberi warna pendidikan Indonesia sampai saat ini. Berikut 6 hal di antara lain.

Mutu pendidikan

Mutu pendidikan di Indonesia bersumber pada informasi UNESCO 2011 menduduki peringkat 69 dari 127 negeri. Pada 2012 jadi peringkat 64 dari 120 negeri, serta pada 2013 naik 3 peringkat jadi 121 dari 185 negeri.

Bersumber pada informasi tersebut, bisa dikatakan pendidikan Indonesia masih terletak di urutan yang memprihatinkan. Ini jadi peringatan terhadap mutu pendidikan di Indonesia, yang menimbulkan banyak orang tua rela mengirim anaknya sekolah ke luar negara.

Dilihat dari skor yang dicapai pelajar umur 15 tahun( SMP) dalam keahlian membaca, matematika, serta sains, Indonesia jadi salah satu negeri dengan peringkat terendah. Ini pengaruhi pencapaian mutu pendidikan bagi survei Programme for International Study Assessment( PISA) pada 2012.

Rendahnya kompetensi guru

Distribusi guru di Indonesia pula tidak menyeluruh. Bersumber pada informasi Teacher Employment & Deployment, World Bank 2007: 21 persen sekolah di perkotaan, 66 persen di perdesaan ataupun wilayah terpencil, serta 34 persen sekolah pada biasanya di Indonesia kekurangan guru.

Catatan berartinya, guru di Indonesia tidak memilki kompetensi yang mencukupi. Kekurangan tenaga pengajar ini menimbulkan mutu pendidikan di tiap wilayah berbeda, apalagi anak- anak yang sekolah di perkotaan sekalipun.

Informasi Departemen Pendidikan serta Kebudayaan menampilkan, dari 1, 6 juta guru di Indonesia, lebih dari 1, 3 juta mempunyai nilai tes di dasar 60 dari rentang 0 sampai 100. Uji kompetensi guru itu mencakup para guru di TK, SD, SMP, sekolah luar biasa, SMA, serta Sekolah Menengah Kejuruan(SMK).

Dari tes ini, cuma 192 guru, sebagian besar guru SMP, yang menggapai nilai 90- 100. Sedangkan nyaris 130. 000 guru yang nilainya antara 0 serta 30.

Baca Juga: Kemajuan Pendidikan Indonesia Ternyata Dipengaruhi 4 Faktor Ini

Kurikulum berubah- ubah

Sistem pendidikan ataupun kurikulum di Indonesia masih sering berganti. Kurikulum pendidikan nasional yang diawali semenjak 1945, sudah sebagian kali hadapi pergantian semacam pada 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, serta 2006.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 pula mengembagkan kurikulum baru, walaupun pernah diurungkan penerapannya. Coba tengok pula penamaan tes nasional mulai dari Ebtanas, UAN, UN sampai kebijakan standarisasi nilai kelulusannya sendiri.

Belum lagi tiap tahun novel pelajaran senantiasa berubah- ubah sebab pergantian kurikulum serta harga novel pelajaran ataupun novel penunjang memilki harga yang lumayan mahal.

Walaupun, pemerintah pula telah mulai melakukan program novel gratis yang dapat diunduh sekolah ataupun siswa.

Dominasi mata pelajaran eksakta

Tiap anak mempunyai keahlian serta energi serap yang berbeda- beda. Ada anak yang bahagia dengan matematika tetapi ada anak yang lebih bahagia dengan pelajaran seni.

Tetapi tidak seluruh pelajaran di sekolah jadi kesukaan, paling utama dikala melanjutkan ke akademi besar. Dalam penjelasan persnya, Pimpinan SNMPTN 2015, Profesor Rochmat Wahab, menarangkan cuma ada 3 jurusan kesukaan untuk masing- masing kelompok keilmuan.

Misalnya pada bidang ilmu saintek, 3 jurusan kesukaan paling atas merupakan Metode Informatika, Ilmu Kesehatan Warga, serta Farmasi. Sebaliknya pada bidang soshum, 3 jurusan yang sangat banyak diseleksi merupakan Manajemen, Akuntansi, serta Ilmu Komunikasi.

Kemudian gimana dengan pelajaran seni, olah raga serta keahlian? Sementara itu otak mempunyai 2 bagian yang bisa dibesarkan secara maksimal. Baik otak kiri ataupun kanan, memiliki kedudukan dalam membentuk kecerdasan. Sedangkan, pelajaran eksakta lebih banyak mengandalkan otak kiri.

Rasio guru- murid

Banyaknya murid dalam satu kelas, sedangkan tiap anak memiki kasus serta kepribadian yang berbeda- beda, membuat guru kewalahan. Misalnya kala seseorang anak jadi korban bullying di kelas, hadapi tindak kekerasan, ancaman, sampai pelecehan intim.

Bersumber pada informasi Analytical and Capacity Development Partnership( ACDP), rasio perbandingan antara guru serta murid di Indonesia terendah di dunia. Anggota ACDP, Sari Soegondo, rasio sempurna murid- guru merupakan 20: 1.

Tetapi, dalam 10 tahun terakhir di Indonesia hadapi kenaikan jadi 51 persen, jadi 15:

1. Sebaliknya informasi UNESCO 2014 menetapkan perbandingan 26: 1 untuk negara- negara Asia, serta 24: 1 untuk negara- negara yang berpenghasilan menengah.

Hal itu dipengaruhi perekrutan guru yang tidak cocok dengan kebutuhan serta melampaui jumlah registrasi murid di seluruh tingkatan pendidikan.

Angka putus sekolah

Bersumber pada informasi pendidikan 2010 disebutkan, sebanyak 1, 3 juta anak 7- 15 tahun terancam putus sekolah. Sesungguhnya yang pengaruhi angka putus sekolah di Indonesia sangat bermacam- macam, tetapi permasalahan yang sangat kerap ditemui merupakan soal bayaran sekolah yang sangat besar.

Bagi Laporan terkini Organisation for Economic Cooperation and Development( OECD), Education at Glance 2015, informasi persentase negeri dengan tingkatan putus SMA besar di dunia dihuni Cina dengan 64 persen. Indonesia, ada di urutan kedua dengan angka putus sekolah 60 persen.

Laporan ini mengukur persentase warga sesuatu negeri yang menuntaskan pendidikan menengah, ialah setara SMA. Persentase terendah dicapai Korea Selatan( Korsel). Cuma 2 persen penduduk Korsel pada kelompok umur 25- 34 tahun yang tidak menamatkan pendidikan menengah.